Kejujuran dan Taubatnya Perampok
Suatu hari Abdul Qadir yang masih belia meminta izin kepada ibunya
untuk pergi ke kota Bagdad. Anak ini ingin sekali mengunjungi rumah orang-orang
saleh di sana dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka. ibunyapun
merestui. Diberikanlah kepada Abdul Qadir empat puluh dinar sebagai bekal
perjalanan. Agar aman, uang disimpan di sebuah saku yang sengaja dibuat di posisi
bawah ketiak. Sang ibu tak lupa berpesan kepada Abdul Qadir untuk senantiasa
berkata benar dalam setiap keadaan. Ia perhatikan betul pesan tersebut, lalu ia
keluar dengan mengucapkan salam terakhir. Ibunya berkata “Pergilah, aku sudah
menitipkan keselamatanmu pada Allah agar kamu memperoleh pemeliharaan-Nya,”
pinta ibunda Abdul Qadir.
Anak pemberani itu pun pergi
bersama rombongan kafilah unta yang juga sedang menuju ke kota Bagdad. Ketika
melintasi suatu tempat bernama Hamdan, tiba-tiba enam puluh orang pengendara
kuda menghampiri lalu merampas seluruh harta rombongan kafilah. Yang unik, tak
satu pun dari perampok itu menghampiri Abdul Qadir. Hingga akhirnya salah
seorang dari mereka mencoba bertanya kepadanya,
“Hai orang fakir, apa yang kamu bawa?”
“Aku membawa empat puluh dinar,” jawab Abdul Qadir polos.
“Di mana kamu meletakkannya?”
“Aku letakkan di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.”
Perampok itu tak percaya dan mengira Abdul Qadir sedang
meledeknya. Ia meninggalkan bocah laki-laki itu. Selang beberapa saat, datang
lagi salah satu anggota mereka yang melontarkan pertanyaan yang sama. Abdul
Qadir kembali menjawab dengan apa adanya. Lagi-lagi, perkataan jujurnya tak
mendapat respon serius dan si perampok ngelonyor pergi begitu saja.
Pemimpin gerombolan perampok
tersebut heran ketika dua anak buahnya menceritakan jawaban Abdul Qadir.
“Panggil Abdul Qadir ke sini!” Perintahnya.
“Apa yang kamu bawa?” Tanya kepala perampok itu.
“Empat puluh dinar.”
“Di mana empat puluh dinar itu sekarang?”
“Ada di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.”
Benar. Setelah kepala perampok memerintah para anak buah
menggledah ketiak Abdul Qadir, ditemukanlah uang sebanyak empat puluh dinar.
Sikap Abdul Qadir itu membuat para perampok geleng-geleng kepala. Seandainya ia
berbohong, para perampok tak akan tahu apalagi penampilan Abdul Qadir saat itu
amat sederhana layaknya orang miskin.
“Apa yang mendorongmu mengaku dengan sebenarnya?”
“Ibuku memerintahkan untuk berkata benar. Aku tak berani durhaka
kepadanya,” jawab Abdul Qadir. Pemimpin perampok itu menangis, seperti sedang
dihantam rasa penyesalan yang mendalam. “Engkau tidak berani ingkar terhadap
janji ibumu, sedangkan aku sudah bertahun-tahun mengingkari janji Tuhanku.”
pemimpin perampok itu pun menyatakan tobat di hadapan Abdul Qadir, Anak kecil
yang kelak namanya harum di mata dunia sebagai Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul
Qadir al-Jailani. Drama pertobatan ini lantas diikuti para anak buah si
pemimpin perampok secara massal.
Kisah ini diceritakan dalam kitab
Irsyadul ‘Ibad karya Syekh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibari, yang mengutip
cerita dari al-Yafi’i, dari Abu Abdillah Muhammad bin Muqatil, dari Syekh abdul
Qadir al-Jailani.


Komentar
Posting Komentar